Kamis, 31 Desember 2009

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

SEJARAH ISLAM DI INDONESIA



Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat

Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat1

Atmarita, Tatang S. Fallah2

Abstrak

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa.
Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi dan kesehatan masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya yang mempunyai informasi status gizi dan kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan status gizi dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat dimasa yang akan datang.
Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih cukup dominan. Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi >50 per 1000 lahir hidup. Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain. Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat badan rencah (BBLR<2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi kurang pada balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut. Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya fenomena “double burden” yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai dengan semakin meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya proporsi ibu dengan gizi lebih yang mempunyai anak pendek atau kurus. Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan masalah gizi sampai dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi.
Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai.



I.Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup.

Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita.

United Nations (Januari, 2000)3 memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian. Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 (Unicef, 19984) menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut.

Uraian berikut ini merupakan kajian status gizi dan kesehatan penduduk yang menunjukkan fakta yang terjadi pada masyarakat Indonesia disertai dengan faktor penyebabnya. Prevalensi status gizi dan kesehatan diterjemahkan ke jumlah penduduk, dan angka prevalensi tahun terakhir digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2015. Kajian ini diakhiri dengan rekomendasi untuk alternatif intervensi pada masa yang akan datang.
Bagan 1. Gizi menurut daur kehidupan

















Bagan 2. Penyebab kurang gizi



II.Dasar Analisis

Analisis dilakukan berdasarkan data survei dan laporan yang ada sampai dengan tahun 2003, sebagai berikut:

1.Data antropometri balita dari Susenas 1989 sampai dengan 2003
2.Data antropometri tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) 1994 dan 1999
3.Data survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di seluruh ibu kota provinsi, 1997
4.Data survei dari NSS/HKI
5.Data Survei Vitamin A (Suvita) 1978 dan 1992
6.Data survei anemia, SKRT 1995 dan 2001
7.Data survei Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) sampai dengan 2003
8.Data kor Susenas 1995, 2000, 2003
9.End Decade Statistical report. BPS-UNICEF 2000
10.Laporan analisis status gizi dan kesehatan ibu dan anak, SKRT 2001
11.Indonesian Human Development Report, 2001
12.Laporan Studi Mortalitas 2001
13.Laporan studi angka kematian ibu, 2003
14.Laporan kemiskinan, BPS 2002
15.Data pemetaan pangan, gizi dan kemiskinan, 2002
16.Laporan SDKI 2002

Selanjutnya analisis memperhatikan transisi demografi, terutama yang terjadi berdasarkan sensus penduduk 1990 dan 2000. Figure 1 memperlihatkan kecenderungan komposisi penduduk menurut kelompok umur. Transisi demografi yang pada tahun 1990 masih didominasi oleh kelompok usia muda pada piramida tahun 2000 sudah bergeser pada kelompok usia yang lebih tua.

Figure 1. Piramid penduduk 1990 dan 2000
Piramid penduduk tahun 1990
Piramid penduduk tahun 2000


Sumber: BPS, SP 1990 dan SP 2000
Figure 2 memperjelas kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur dari sensus penduduk 1970 sampai dengan 2000. Informasi kecenderungan penduduk ini menjadi penting untuk intervensi yang akan datang dan tidak saja bertumpu pada kesehatan dan gizi balita, tapi pada kelompok umur lainnya yaitu usia produktif dan usia 50 tahun keatas yang proporsinya terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025, proporsi 0-4 tahun akan menjadi 7.3%, 5-14 tahun akan menjadi 15%, 15-64 tahun menjadi 68.4%, dan usia 65+ tahun akan menjadi 9.2%.

Figure 2: Penduduk menurut Kelompok Umur

Dimensi lain yang perlu diperhatikan untuk pelayanan kesehatan dan gizi adalah urbanisasi. Penduduk daerah perkotaan meningkat dari 17,3% di tahun 1970 menjadi 37,0% pada tahun 2000, dan menjadi 42% pada tahun 2003. Semakin meningkatknya penduduk perkotaan, mengharuskan strategi pelayanan kesehatan dan gizi yang akan datang mengikuti karakteristik penduduk perkotaan yang berbeda dengan perdesaan.

Analisis masalah gizi dan kesehatan sebagian diterjemahkan ke jumlah penduduk, sehingga lebih jelas permasalahannya. Jumlah penduduk dikutip dari hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dengan perkiraan jumlah penduduk 203.456.005, serta laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Analisis memperhatikan jumlah penduduk menurut SP 1980: 146.934.948 orang, SP 1990: 178.631.196 orang, dan laju pertumbuhan penduduk 1980-1990 yaitu 1,97 (BPS, 2001). Proyeksi sampai dengan 2015 berpedoman pada keadaan penduduk 2000 dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk yang terakhir.
Analisis Status Gizi dan Kesehatan

1. Status Kesehatan penduduk

Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita.

Figure 3. Kecenderungan Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka kematian balita (AKABA) – Indonesia 1980-2002


Sumber: WDR 1987, UNICEF 2000, IHDR 2001, BPS 2000, SDKI 2002/2003

Peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada Figure 4 berikut ini menunjukkan pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%. Perbedaan yang menyolok juga terlihat antara Kota-Desa. Kajian Susenas 1995, 1998 dan 2001 menunjukan perbedaan Angka kematian Bayi maupun angka kematian balita sekitar 20 per 1000 antara Kota dan Desa.

Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380 (1994); dan 318 (1997)5.


Figure 4. Persen kabupaten berdasarkan perubahan AKB 1999 dan 2002

2. Status gizi penduduk

Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Yodium).

2.1. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500 gram)

Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan juga dari studi terserak. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar antara 7 – 16% selama periode 1986-19996, demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.

Tabel 1. Proporsi BBLR SDKI


1986-1991
1989-1994
1992-1997
SDKI
7,3
7,1
7,7
Perkotaan

6,8
6,6
Perdesaan

7,3
8,4
Rentang Provinsi

2,3-16,7
3,6-15,6



2.2. Status gizi pada balita

Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989 sampai dengan tahun 20037.

Tabel 2 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk8 dan proporsi balita9 pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409. Distribusi besaran masalah gizi menurut kabupaten dapat dilihat pada Figure 5.

Tabel 2. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD)
Susenas 1989-2003
Tahun
Total Penduduk
Total Balita
Prevalensi
Jumlah balita dengan



Gizi buruk
Gizi Kurang
Buruk+Kurang
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Buruk+Kurang
1989
177,614,965
21,313,796
6.3
31.2
37.5
1,342,769
6,643,510
7,986,279
1992
185,323,458
22,238,815
7.2
28.3
35.6
1,607,866
6,302,480
7,910,346
1995
195,860,899
21,544,699
11.6
20.0
31.6
2,490,567
4,313,249
6,803,816
1998
206,398,340
20,639,834
10.5
19.0
29.5
2,169,247
3,921,568
6,090,815
1999
209,910,821
19,941,528
8.1
18.3
26.4
1,617,258
3,639,329
5,256,587
2000
203,456,005
17,904,128
7.5
17.1
24.7
1,348,181
3,066,977
4,415,158
2001
206,070,543
18,134,208
6.3
19.8
26.1
1,142,455
3,590,573
4,733,028
2002
208,749,460
18,369,952
8.0
19.3
27.3
1,469,596
3,545,401
5,014,997
2003
211,463,203
18,608,762
8.3
19.2
27.5
1,544.527
3,572,882
5,117,409

Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘over-estimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002.
Sedangkan prevalensi gizi kurang yang diperoleh dari Susenas, ada kemungkinan ‘under estimate’ jika dibandingkan dnegna survei/studi yang sama. Dari survei/studi ini, pada umumnya menunjukkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi 5-7% dari perkiraan Susenas.

Figure 5


Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada tabel 3 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita.

Tabel 3. Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < - 2SD), 1990-2001

IBT, 90
Suvita, 92
SKIA, 95
SKRT, 95
Ev.JPS,99
SKRT, 01
Total
9.7
8.6
13.4
11.6
13.7
15.8
Laki-laki
10.8
9.5
13.9
13.3

16.9
Perempuan
8.7
7.6
12.7
10.0

14.5
Kota


13.5

14.0
15.2
Desa


13.3

13.7
16.2
IBT – Survei Indonesia Bagian Timur; Suvita – Survei Nasional Vitamin A;
SKIA – Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS – Evaluasi Jaring Pengaman Sosial;
SKRT – Survei Kesehatan Rumah Tangga

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Tabel 4 menunjukkan prevalensi anak balita stunting dari tahun 1992 sampai dengan 2002 dari beberapa survei. Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek.

Tabel 4. Prevalensi Pendek/Stunting anak balita <-2SD

Survei
Stunting <-2SD
Suvita, 92 (15 prov)
41.4
IBT, 91 (4 prov)
44.5
SKIA, 95 (Nas)
45.9
JPS, 98-99 (5 Prov)
43.8
NSS-HKI, 1999 -Pedesaan

- Sumatera Barat
36.5
- Banten
28.4
- Jawa Barat
30.7
- Jawa Tengah
36.0
- Jawa Timur
34.5
- Lombok (NTB)
44.0
NSS-HKI, 1999 -Pedesaan

- Sumatera Barat
37.9
- Lampung
27.3
- Banten
31.0
- Jawa Barat
33.0
- Jawa Tengah
30.8
- Jawa Timur
34.9
- Lombok (NTB)
46.9
- Sulawesi Selatan
37.0
NSS- HKI, 2001 – Pedesaan

- Sumatera Barat
37.0
- Lampung
29.5
- Banten
33.0
- Jawa Barat
33.4
- Jawa Tengah
29.5
- Jawa Timur
33.5
- Lombok (NTB)
48.2
- Sulawesi Selatan
37.3
NSS-HKI, 2002 – Pedesaan

- Sumatera Barat
37.2
- Lampung
30.4
- Banten
37.4
- Jawa Barat
35.4
- Jawa Tengah
29.0
- Jawa Timur
31.2
- Lombok (NTB)
48.8
- Sulawesi Selatan
37.6
NSS-HKI, 2000 – Kumuh perkotaan

- Jakarta
31.0
- Semarang
30.2
- Surabaya
27.7
- Makassar
43.1
NSS-HKI, 2001 – Kumuh perkotaan

- Jakarta
28.8
- Semarang
28.2
- Surabaya
27.9
- Makassar
42.6
JPS: Jaring Pengaman Sosial
NSS-HKI: Survei gizi dan Kesehatan HKI

Dari data NSS/HKI, tinggi badan rata-rata anak balita ini pada umumnya mendekati rujukan hanya sampai dengan usia 5-6 bulan, kemudian perbedaan tinggi badan menjadi melebar setelah usia 6 bulan, baik pada anak laki-laki maupun perempuan (Figure 6). Kondisinya sama dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Figure 6. Tinggi badan rata-rata anak laki-laki dan perempuan 0-60 bulan dibanding rujukan, NSS/HKI 1999-2002

Anak laki-laki 0-60 bulan
Anak Perempuan 0-60 bulan



Catatan:

Tinggi badan rata-rata tersebut di atas diperoleh berdasarkan pengukuran tinggi badan di wilayah pedesaan provinsi Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lombok (NTB), dan Sulawesi Selatan yang dilakukan HKI pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Jumlah sample balita adalah sbb:


Provinsi
Jumlah sampel anak balita

1999
2000
2001
2002
Sumatera Barat
7773
22468
19621
4409
Lampung

13190
12942
3160
Banten
1810
3161
4011
1021
Jawa Barat
11666
17421
12443
2845
Jawa Tengah
18495
25348
24175
5391
Jawa Timur
9268
15131
12183
2597
Lombok/NTB
9584
15628
11995
2568
Sulawesi Selatan

14516
14940
2922
Total
58596
126863
112310
24913

2.3. Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999)

Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan 199910. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek.
Tabel 5. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan dan umur (Stunting <-2SD)
Pada anak baru masuk sekolah, TBABS 1994 dan 1999

Survei/
Lokasi
Sampel
Tinggi Badan menurut umur
tahun

N
Jenis
Umur




Kelamin
(tahun)
Pendek (Stunting)
Tinggi Badan*)





<-3 SD
-3 to -2 SD
Rata2 (cm)
TBABS
National
435,816
L+P
6 - 9
10.7
29.1
-
/1994

225,779
Laki-laki
6 - 9
13.0
30.1
-


28,663
Laki-laki
6
4.1
18.9
108.9


101,796
Laki-laki
7
9.1
28.1
110.8


74,815
Laki-laki
8
17.9
35.2
112.9


20,505
Laki-laki
9
26.7
37.1
116.1


210,037
Perempuan
6 - 9
8.2
28.1



30,685
Perempuan
6
2.9
16.5
107.7


100,001
Perempuan
7
5.9
25.8
109.7


64,147
Perempuan
8
11.9
34.8
111.8


15,204
Perempuan
9
19.1
37.9
115.0
TBABS
National
361,126
L+P
6 - 9
9.1
27.3
-
/1999

186,626
Laki-laki
6 - 9
11.1
28.9
-


28,021
Laki-laki
6
4.0
18.2
108.9


93,083
Laki-laki
7
8.1
27.1
111.0


52,737
Laki-laki
8
16.5
35.9
113.2


12,785
Laki-laki
9
27.0
36.9
116.1


174,500
Perempuan
6 - 9
6.9
25.6



31,106
Perempuan
6
2.8
15.9
107.8


90,660
Perempuan
7
5.3
23.8
110.0


43,739
Perempuan
8
10.7
33.8
112.1


8,995
Perempuan
9
19.4
36.9
115.2
*) Tinggi badan rata-rata yang dicapai pada tahun 1994 dan 1999 ini baru mencapai 90% dari baku rujukan NCHS/WHO


Figure 7. Distribusi Z-score Tinggi Badan menurut umur anak usia 6-9 tahun dibanding rujukan di Kota dan Desa tahun (TBABS, 1994 dan 1999).

Kota
Desa




2.4. Status gizi pada Usia Produktif

Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA <>25.

Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5>35% pada WUS usia 15-19 tahun.

Figure 8. Proporsi WUS risiko KEK (Lila <23.5 cm): 1999-2003


Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun 1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9. Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia 45–49 tahun.

Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5)>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Figure 10).





Figure 9. Proporsi IMT <18.5 pada wanita perkotaan, survei IMT 1997


Figure 10. Masalah gizi kurang dan gizi lebih usia dewasa di perkotaan, 1996/1997

Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5)>30) pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan.
Figure 11. Masalah gizi kurang dan obesitas pada wanita usia produktif,
HKI 1999 dan 2001
Kumuh Perkotaan
Perdesaan



2.5. Masalah gizi mikro

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990.

Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992 masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20>80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali kasus xeropthalmia.

Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti.

Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40%>90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. Figure 12 berikut menunjukkan hasil yang positif untuk penggunaan garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104 pada tahun 2003 dimana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium.

Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah. Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan program, cakupan ini berkisar antara 60-75%.

Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau. (Lihat tabel 6)

Figure 12. Distribusi kabupaten menurut rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium cukup: 1998-2003.


Tabel 6. Total Goitre Rate (TGR) pada 268 kabupaten yang sama dari
Survei 1996/1998 dan 2003


Sumber: National IDD survey 1998, and National IDD evaluation survey 2003

Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001). SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun.

Figure 13. Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001

Figure 14. Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001



Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.

Tabel 6. Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)
Tahun 1999 dan 2000

Lokasi
Wanita Usia Subur
Anak balita

1999
2000
1999
2000
Sumbar
29.2
34.0
46.9
53.9
Lombok
32.3
25.3
65.8
66.1
Lampung

24.1

56.8
Makassar
27.9
37.1
58.6
63.5
Sulsel

27.8

53.6
Surabaya
34.0
27.1
65.5
58.8
Jatim
28.7
26.5
62.6
68.1
Jabar
28.9
26.5
64.6
57.9
Semarang
21.9
27.5
44.7
51.0
Jateng
23.4
25.8
54.7
51.8
Jakarta
42.5
33.3
71.9
63.5

Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya masih sulit dipantau.
III.Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.

1.Ketahanan pangan tingkat rumah tangga

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000).

Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat figure 15)

Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%;>75%. Terlihat ada perbaikan dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa.

Figure 15. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran pangan tingkat rumah tangga

Pebedaan tahun 1995, 2000, 2003
Perbedaan Kota Desa - 2003



Figure 16. Perubahan persen Kabupaten/Kota berdasarkan % pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran tingkat rumah tangga (1995, 2000, 2003)

Perbedaan tahun 1995, 2000, dan 2003
Perbedaan Kota – Desa, 2003



Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan data yang kurang.

2.Morbiditas

Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001.

Figure 17. Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin,
SKRT 1995 dan 2001

Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002

SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena ‘Non-communicable diseases/NCD’ meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001). Proporsi kematian karena ‘Cardiovscular diseases/CVD’ meningkat dari 9.1% tahun 1986 menjadi 26.3% tahun 2001; ‘Ischaemic heart disease’ dari 2.5% (1986) menjadi 14.9% (2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari 3.4% (1986) menjadi 6% (2001).

Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.

3.Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat

Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa.

Figure 18. Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk Kota-Desa, 2003.

Laki-laki
Perempuan




Kota
Desa




Perilaku kesehatan yang merupakan salah satu penyebab atau risiko utama dari beberapa penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker saluran pernapasan bagian atas adalah merokok. Persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok di Indonesia tidak banyak berubah pada periode 1995-2001 atau hanya meningkat 1,5% dari 26,2% (tahun 1995) menjadi 27,7% (tahun 2001). Jika diperhatikan prevalensi merokok menurut jenis kelamin didapatkan perbedaan persentase yang mencolok antara penduduk laki laki dan perempuan. Persentasi perokok perempuan masih cukup rendah, yaitu kurang dari 1%. Yang perlu diwaspadai adalah kebiasaaan merokok pada laki-laki meningkat cukup tajam menjadi 40,7% pada tahun 2003. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi rokok ini juga meningkat dari rata-rata 9,15% terhadap pengeluaran pangan total pada tahun 1995 menjadi 10,03% tahun 2000 dan 13,15% tahun 2003. Jika dibuat tiga klasifikasi pengeluaran rokok ini menjadi <10%,>15% terhadap pengeluaran pangan total; maka pada tahun 2003 terdapat hampir 27% kabupaten di Indonesia, rumah tangganya mengeluarkan uang >=15% dari total pengeluaran pangan untuk konsumsi rokok, serta hampir 61% kabupaten masuk pada klasifikasi 10-15% untuk konsumsi rokok (lihat Figure 19).

Figure 19. Jumlah kabupaten berdasarkan rasio pengeluaran konsumsi rokok terhadap pengeluaran pangan total



4.Pola Asuh

Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003 (Lihat figure 20). Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).




Figure 20. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003

Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003. Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%. (Lihat figure 21).

Figure 21. Persentasi pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan menurut Provinsi,
Susenas 1995 dan 2003
ASI saja sampai 4 bulan
ASI saja sampai 6 bulan



5.Kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar

Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih.

Figure 22: Proporsi rumahtangga dengan kriteria kesehatan lingkungan 1996, 1999, 2003

Sumber: Analisis Susenas 1996, 1999, dan 2003.

Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis, yaitu: <25%;>=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis. Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi kabupaten: <10%,>=40%). (Figure 23)

Figure 23. Jumlah kabupaten berdasarkan kelahiran pertama dan kedua dengan tenaga medis dan non-medis
Tenaga Medis
Tenaga Non-medis



Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5 tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%.

6.Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf, khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah 94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%.

Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. (lihat tabel 7).

Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. (Lihat figure 24).
Tabel 7. Angka Partisipasi Murni (APM) pada SD, SLTP dan SLTA
berdasarkan Gender, Susenas 1995, 1998, dan 2002.

Tingkat
1995
1998
2002
Pendidikan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
SD






-Perkotaan
92.99
92.29
92.97
92.50
92.76
92.34
-Perdesaan
90.76
91.34
91.92
92.02
92.58
93.05
Total
91.47
91.64
92.13
92.18
92.65
92.76
SLTP






-Perkotaan
66.65
66.42
69.33
70.14
71.38
72.34
-Perdesaan
42.56
42.92
48.87
50.49
53.29
55.01
Total
50.77
51.32
56.09
57.86
60.88
62.44
SLTA






-Perkotaan
52.18
48.00
56.84
54.30
54.15
51.35
-Perdesaan
21.76
19.93
24.29
24.21
25.63
25.15
Total
33.52
31.74
37.70
37.25
38.65
37.54

Figure 24. Persentasi kepemilikan ijazah penduduk dewasa laki-laki dan perempuan, 2003

7.Kemiskinan

Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.

Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002.

Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Figure 25 berikut:

Figure 25. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002



IV.Analisis determinan masalah kesehatan dan gizi

Dari uraian di atas, diketahui ada peningkatan status gizi dan status kesehatan penduduk Indonesia dilihat secara nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten. Walaupun demikian, masalah gizi dan kesehatan ini masih cukup dominan pada wilayah tertentu. Penurunan masalah gizi kurang, terutama pada balita, jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia dapat menurunkan dari 39,9% tahun 1987 menjadi 27,3% pada tahun 2002. Sementara Filipina berhasil mengurangi masalah gizi kurang pada balita dari 33,2% tahun 1982 menjadi 31,8% tahun 1998. Pada tabel 8 dapat dilihat perbandingan masalah gizi kurang balita dengan negara lain pada tahun 2001.

Table 8. Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di ASIA, 2001

Negara
Gizi kurang
(BB/U <-2SD)
(%)
Gizi kurang
(TB/U < -2SD)
(%)
Berat badan bayi lahir rendah/BBLR
(%)
Bangladesh
47.8
44.8
30.0
India
47.0
45.6
25.5
Cambodia
45.9
46.0
8.9
Pakistan
38.2
-
21.4
Myanmar
36.0
37.2
16.0
Vietnam
33.1
36.4
8.9
Srilangka
33.0
17.0
17.0
Indonesia
26.1
45.6
7.7
Thailand
18.6
16.0
7.2
Malaysia
18.3
-
-
China
9.6
16.7
5.9

Pada uraian sebelumnya dijelaskan juga kemungkinan faktor atau penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi dan kesehatan dengan mengikuti kerangka pikir Unicef, mulai dari penyebab langsung, ketahanan pangan tingkat rumah tangga sampai akar masalahnya, yaitu tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Selanjutnya untuk mempertajam analisis situasi kesehatan dan gizi ini, dilakukan kajian penyebab tersebut di atas. Analisis dilakukan berdasarkan agregat kabupaten dari data Susenas 2003, dengan menggunakan: Angka Kematian Bayi (AKB) untuk menilai perubahan status kesehatan, dan Prevalensi Status gizi pada balita untuk menilai perubahan status gizi.

Analisis regresi linier digunakan untuk mengamati asumsi perubahan AKB dan prevalensi status gizi pada beberapa variabel sosial ekonomi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa perubahan AKB sangat siginifikan terjadi jika dilakukan upaya:
1.Penurunan kemiskinan
2.Peningkatan status gizi pada balita
3.Peningkatan pendidikan sampai jenjang DI/DIII pada laki-laki
4.Peningkatan pendidikan sampai minimal jenjang SLTP pada perempuan
5.Menambah jumlah rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri
6.Memperkecil persentasi rumah dengan lantai tanah
7.Mengurangi angka morbiditas
8.Meningkatkan pertolongan persalinan dengan tenaga medis
9.Mengurangi perkawinan muda
10.Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok

Sedangkan perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika dilakukan upaya:
1.Penurunan kemiskinan
2.Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki
3.Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan
4.Peningkatan pengeluran untuk konsumsi sumber energi
5.Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu
6.Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok
7.Meningkatkan penggunaan KB pada perempuan
8.Mengurangi angka morbiditas

Informasi yang tidak dapat dikaji dari Susenas adalah pengaruh pekerjaan terhadap status gizi. Data HKI berikut ini menunjukkan perbedaan status gizi (gizi kurang berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB < -2 SD) menurut jenis pekerjaan bapak dan ibu pada daerah kumuh perkotaan dan perdesaan. (Figure 26 dan 27). Dapat dilihat bahwa anak balita dari pegawai negeri prevalensi gizi kurang pada balita pada umumnya lebih rendah dibanding jenis pekerjaan yang lain.

Figure 26. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan bapak di Kumuh perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001)

Kumuh perkotaan
Perdesaan



Figure 27. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan ibu di Kumuh perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001)

Kumuh perkotaan
Perdesaan








V.Proyeksi status gizi penduduk sampai 2015

Dari uraian sebelumnya status kesehatan penduduk disebut tergantung dari keadaan gizi. Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor. Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasar adalah:

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70%>75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%.
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan, yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin > 30%
Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.
Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah balita yang ada.
Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian makanan pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan.
Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis.
Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah.
Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).

Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut:

1.Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita

Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%

2.Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah

Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak negara anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih awal tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi badan antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa setinggi kurang lebih 8 cm. Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang ‘secular trend” dari kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia. Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan penduduk dari satu waktu tertentu. Informasi yang ada adalah hasil survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi. Dari hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata tinggi badan sebesar 2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam jangka waktu 14 tahun.

Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat. Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Dari tabel 6 terlihat kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%.

3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur

Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara 5-8% dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat pada Figure 10, 35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK.

Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur 15-19 tahun. Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia.

4. Proyeksi masalah gizi mikro

Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum terungkap akan tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium, kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink.

Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan.

Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai dengan informasi yang tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA, GAKY dan anemia gizi. Data dasar untuk keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu mendatang perlu dilakukan, karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat, vitamin B1 hanya tersedia dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah tangga yang cenderung defrisit dalam makanan sehari-hari.

Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20 mg, dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali munculnya kasus xeroftalmia. Dari beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB. Pemberian kapsul vitamin A pada balita diasumsikan belum mencapai seluruh balita. Intervensi KVA dengan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap perlu, selain strategi lain (fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan) mulai diintensifkan. Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada balita dapat ditekan menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%.

Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 1997-2003. Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium). Selain itu pemantauan pemberian kapsul yodium pada daerah endemik berat dan sedang tidak diketahui sampai sejauh mana kapsul ini diberikan pada kelompok sasaran. Mengingat masalah GAKY sangat erat kaitannya dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi GAKY pada penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun setelah intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik jika konsumsi garam beryodium dapat universal. Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada kemungkinan akan meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi GAKY tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun kedepan (sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang dari 5%.

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif.

Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting dalam perbaikan gizi secara menyeluruh.


VI.Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan untuk yang akan datang

Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:

1.Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.

2.Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal.

3.Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta.

4.Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.


Daftar Rujukan

1.Nutrition throughout life cycle. 4th report on The World Nutrition Situation, January 2000
2.Unicef (1998). The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press.
3.Draft II – Rencana Aksi program Pangan dan gizi nasional, Depkes 2000
4.Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta 1998
5.Widyakarya Nasioanl Pangan dan Gizi VII, Jakarta 2000
6.End decade statistical report: Data and Descriptive Analysis, BPS-Unicef 2000
7.World Development Report 2000/2001: Attacking poverty
8.WHO, 2000. Nutrition for Health and Development
9.Puguh B Irawan and Henning Romdiati. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, 2001.
10.IDHR, 2001. Indonesia Human Development Report 2001. Towards a new consensus Democracy and human development in Indonesia.
11.Laporan studi angka kematian bayi dan balita Susenas 1995, 1998 dan 2001, Litbangkes, Depkes 2002
12.Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit dan penyebab kematian di Indonesia, Litbangkes, Depkes 2002
13.Soemantri S, Tinjauan kembali angka kematian ibu di Indonesia, 2003.
14.Laporan SKRT 1995 dan 2001, Status gizi wanita usia subur dan balita, Litbangkes, Depkes 2003

Cara menyuburkan dan merawat rambut


Cara menyuburkan dan merawat rambut
Bagi beberapa orang banyak hal-hal yang sangat diperhatikan, seperti wajah (jerawat), kostum, dan rambut. Tentu saja rambut adalah termasuk hal yang penting, kebanyakan orang akan merasa kurang PD apabila rambutnya rontok, sehingga menyebabkan kebotakan (kata orang bisa buat landasan pesawat, wkekeke). Aneka tips akan berbagi cara menyuburkan rambut. Mungkin anda sudah mencoba berbagai shampo dan kondisioner namun hasilnya tetap tidak memuaskan.


Sudah saatnya anda mencoba upaya menyehatkan rambut dari dalam melalui makanan. Makanan yang kaya akan zat gizi bila masuk ke dalam tubuh sangat mempengaruhi serta menghasilkan kesehatan tubuh dan rambut yang sehat.

Zat besi diperlukan untuk mengangkut oksigen yang cukup ke rambut anda. Tanpa cukup besi, rambut dan kantung-kantung rambut terpaksa kekurangan oksigen. Makanan yang kaya akan zat besi adalah daging merah, sayuran berdaun gelap atau tumbuhan polong-polongan.

Zinc (seng) sangat penting untuk mencegah rambut rontok dan membangun protein rambut yang terdapat dalam makanan seperti daging dan seafood yang mengandung kadar seng sangat tinggi.

Tembaga juga dibutuhkan dalam pigmentasi rambut sehingga rambut anda akan berwarna alami. Makanan yang kaya tembaga adalah kerang-kerangan, hati, sayuran segar, kacang-kacangan dan daging.
Krim retin-A, jenis turunan vitamin A, diresepkan oleh beberapa dermatologis untuk perawatan rambut rontok. Vitamin A banyak terdapat dalam buah-buahan dan sayuran seperti wortel dan cantaloupe (semacam semangka).

Protein berfungsi untuk membangun blok rambut agar lebih sehat dan dapat ditemukan dalam daging dan seafood.Hair Nutrient Vitamin B dan C keduanya sangat penting untuk sirkulasi darah agar dapat berjalan lancar sehingga rambut menjadi kuat. Setiap helai rambut menjadi lemas, tidak patah-patah dan warna rambut pun tidak kusam.

Vitamin C adalah sebuah antioksidan yang manjur yang dianjurkan dikonsumsi karena kemampuannya untuk meremajakan dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Mengkonsumsi vitamin C dan B untuk memperlancar sirkulasi darah yang diperlukan dalam pertumbuhan rambut sehat. Buah citrus seperti jeruk, lemon, strawberi biasanya kaya dengan vitamin C dan sama baiknya dengan sayuran berdaun gelap.

Vitamin E merupakan antioksidan yang diketahui kemampuannya untuk menghasilkan kulit sehat dan memperbaiki jaringan. Vitamin E juga diperuntukkan untuk menghasilkan jaringan kulit yang kondusif untuk pertumbuhan rambut. Makanan kaya vitamin E adalah minyak sayur kacang-kacangan, dan hati.

Yodium zat gizi yang esensial untuk mengoptimalkan aktivitas tiroid. Ketidakcukupan yodium dalam tubuh anda dapat mempengaruhi aktivitas tiroid sehingga merusak pertumbuhan rambut anda.

Asam lemak esensial seperti Omega 3 yang dapat ditemukan pada ikan salmon dan tuna juga baik untuk rambut. Jangan lupakan air yang memberikan kontribusi seperempat dari berat sehelai rambut. Sebaiknya pastikan bahwa rambut anda mendapatkan asupan cairan yang cukup.

Selain perawatan rambut yang datang dari makanan, anda juga dapat menambah vitamin untuk permukaan' rambut dengan menggunakan shampo bervitamin yang banyak dijual secara komersial.

Perawatan dari luar dan dalam sangat penting untuk rambut anda. Selamat Mencoba.

Menghilangkan jerawat dengan cara alam


Menghilangkan jerawat dengan cara alami. Jerawat...jerawat...oh jerawat, si kecil dan berwarna merah yang sangat dihindari oleh banyak orang ini (cewek cantik dan cowok ganteng), baik yang remaja ataupun yang tua. Sebenarnya secara medis jerawat bukanlah suatu yang berbahaya, tapi adalah salah satu penyakit yang sangat ditakuti. Apa efek buruk dari jerawat ini ? -Jalan sering menunduk, karena wajah penuh jerawat. -Sulit dapat pacar dan ga mau dengerin tips cinta dari teman(bahaya nih!!!). -Sering bolos dari sekolah karena malu dengan jerawat yang baru muncul.



Ada cara alami untuk menghilangkan jerawat. Yaitu dengan cara menggunakan manfaat yang terkandung dari bahan-bahan alami. Mau tahu rahasia alaminya?.

Silahkan baca di bawah ini untuk menghilangkan jerawat dengan cara alami, dan dijamin kamu tidak minder lagi dan mudah dapat pacar...


Buah-buahan dan sayuran serta ramuan di bawah ini bisa kamu gunakan untuk menghilangkan jerawat pada wajah kamu, manfaatnya bukan hanya untuk menghilangkan jerawat saja, tapi akan membuat wajah akan terlihat lebih segar. Yaitu :

1. Jeruk nipis

Campur 1 sendok makan air jeruk nipis dengan setengah sendok makan belerang lalu oleskan pada bagian wajah yang berjerawat.

2. Apel

Blender setengah buah apel dengan beberapa tangkai seledri lalu olehkan pada bagian jerawat. Diamkan hingga mengering, kemudia bilas wajah hingga bersih.

3. Kentang

Bersihkan dan haluskan kentang mentah secukupnya, lalu oleskan pada wajah. Diamkan selama 15 menit kemudian bilas bersih.

4. Madu

Oleskan madu pada bagian jerawat, dan diamkan selama 1 malam. Dengan tujuan agar meresap ke dalam pori-pori kulit.

5. Mentimun

Blender mentimun lalu oleskan pada wajah. Diamkan selama 30 menit. Jika sudah kering basuh hingga bersih.

6. Tomat

Siapkan tomat merah menjelang tidur, kemudian potong-potong dan oleskan pada wajah. Biarkan cairan dari tomat tadi mengering. Bersihkan cairan tadi esok pagi. Lakukan hal ini secara rutin, agar memperoleh hasil yang maksimal.

Enam ramuan di atas semoga bisa membantu kamu dalam menghilangkan jerawat. Dan akhirnya kamu tidak minder lagi.

sejarah bahasa indonesia

sejarah bahasa indonesia
Bahasa Indonesia dikembangkan dari salah satu dialek bahasa Melayu yang telah digunakan sebagai lingua franca untuk kepulauan Indonesia selama berabad-abad. Bahasa Melayu merupakan bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia.
Bahasa perdagangan
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" terjadi pada periode 683-686 M. Sebutan ini dapat dilihat di Musium Jakarta pada terjemahan inskripsi yang ditemukan di Palembang dan Bangka.
Inskripsi ini ditulis dengan huruf Sansekerta atas perintah Raja Sriwijaya. Kerajaan maritim yang berkembang pesat. Pada masa itu, daerah perdagangan Selat Melaka, yang merupakan pintu antara China dan India, sudah terbentuk sebuah bahasa yang serupa dengan Bahasa Melayu.
Kebanyakan perbendaharaan bahasa Melayu ini berhubungan dengan perdagangan dan tatabahasanya serupa dengan "Melayu Pasar". Dari sinilah kemudian Bahasa Melayu digunakan.
Melayu Klasik
Dari era Melayu Kuno, muncullah era Melayu Klasik. Dokumentasi yang ada tidak dapat menjelaskan dengan terperinci hubungan antara keduanya. Namun yang pasti, bahasa Melayu kuno berasal dari perpaduan kebudayaan Buddha serta Melayu klasik, dan akhirnya menjadi bahasa yang digunakan dalam kebudayaan Islam.
Seiring dengan perkembangan agama Islam yang bermula dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sehingga tahap kenyataan "Masuk Melayu" berarti "masuk agama Islam".
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca. Pada waktu itu, belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya, bahasa daerah masih digunakan (yang jumlahnya bisa mencapai sebanyak 3600).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda, yaitu pada 28 Oktober 1928. Pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, penggunaan Bahasa Indonesia telah digunakan sebagai bahasa negara Indonesia selepas kemerdekaan. Soekarno tidak memilih Bahasa Jawa, yaitu bahasanya sendiri yang sebenarnya juga merupakan bahasa mayoritas pada saat itu. Beliau memilih Bahasa Indonesia (bahasa melayu yang diedit) yang didasarkan dari Bahasa Melayu yang digunakan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dijadikan sebagai bahasa persatuan Republik Indonesia dengan beberapa pertimbangan:
Apabila Bahasa Jawa digunakan, suku suku/puak puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh Jawa, yang merupakan suku mayoritas Republik Indonesia. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan bahasa melayu. Ada bahasa halus, biasa, dan kasar, yang mana dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila kurang memahami budaya Jawa, dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan misalnya Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku / puak Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau setelah Malaka direbut Portugis. Kedua, sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Penggunaan bahasa melayu tidak hanya terbatas di Republik Indonesia. Di tahun 1945, pengguna bahasa melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian disempurnakan lagi dengan tatabahasa, dan kamus tata bahasa juga diciptakan. Hal ini dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Sumber: http://maigo.sfc.keio.ac.jp/id/bahasa_indonesia.html

Perseteruan Abadi Israel v Palestina

Perseteruan Abadi Israel v Palestina demi Historical Right
Kepahitan Sejarah Telah 35 Abad
Sejarah mencatat, tak ada perseteruan dan permusuhan yang sedemikian lama
''seabadi'' kasus Israel-Palestina, musuh bebuyutan sejak abad 14 SM sampai
sekarang abad 21 M. Tak kurang dari 35 abad perseteruan itu belum juga
menemukan jalan damai yang diimpikan.
Bandingkan dengan perang dingin Rusia v Amerika, yang tak lebih satu abad
telah berakhir dengan pecahnya Rusia pasca glasnost dan perestroika. Perang
ideologi besar dunia komunis versus kapitalis juga telah berakhir dengan
ambruknya masing-masing ideologi. Komunisme telah luruh menjadi
neo-komunisme sejak RRC menjadi negara yang membuka modal kapitalis.
Sebaliknya, kapitalis juga ambruk seiring runtuhnya ekonomi dunia yang
episentrumnya ada di Amerika. Dan kini sedang berproses mencari model baru
kapitalisme (neo-kapitalisme).

Ringkasan Sejarah dan Ibrah
Bani Israil adalah golongan keturunan Nabi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim as,
juga dikenal dengan nama Yahudi. Sejarah Bani Israil bermula ketika Nabi
Ibrahim mengembara bersama pengikutnya menyeberangi Sungai Eufrat menuju
Kan'an (kini Palestina). Ibrahim mempunyai dua orang istri. Dari istri
mudanya, Siti Hajar, dia dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Dari istri
tuanya, Siti Sarah, dia dikaruniai seorang anak bernama Ishaq.
Sewaktu wafat, Ibrahim meninggalkan putranya yang kedua, Ishaq, di Kan'an
dan putanya yang pertama, Ismail, di Hedzjaz (kini menjadi wilayah barat
kerajaan Arab Saudi, yaitu Makkah, Madinah, Taif, dan Jeddah).
Konon, pengasingan dua anak yang berjauhan itu akibat perseteruan dua istri
Ibrahim -Sarah dan Hajar- yang tidak akur. Dari sinikah awal perseteruan
Israel-Palestina tersebut dimulai? Wallahu a'lam, karena ada yang bergumam,
seandainya Ibrahim tidak beristri dua, niscaya dunia tidak seperti ini.

Ismail akhirnya menjadi bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Arab, garis
keturunannya hingga nabi terakhir Muhammad saw. Ishaq mempunyai dua anak, yakni Isu dan Ya'qub, yang disebut terakhir dikenal juga sebagai Israel dan darinyalah berasal keturunan Bani Israil.
Ya'qub mempunyai dua istri. Dari keduanya, dia dikaruniai 12 orang anak.
Yakni, Raubin, Syam'un, Lawi, Yahuza (asal kata "Yahudi"), Yassakir,
Zabulun, Yusuf as, Benyamin, Fad, Asyir, Dan, dan Naftah. Dari 12 putranya
itulah kemudian keturunannya berkembang.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, orang-orang Israel sudah menjadi satu
suku besar dan berpengaruh, mengembara ke berbagai daerah. Akhirnya, melalui pantai timur Laut Tengah, mereka sampai ke Mesir (ketika keluarga Ya'qub menemui Yusuf as yang telah menjadi orang kepercayaan Firaun di Mesir).
Di balik kisah keluarga Ya'qub, kebiadaban dan kelicikan anak-anak Ya'qub
(baca: Bani Israil) sudah terbaca saat mereka tega memasukkan Yusuf as ke
sumur tua karena iri hati lantaran Yusuf lebih disayangi ayahnya. Liciknya,
mereka tega menyusun skenario alibi bahwa Yusuf dimakan serigala (dikisahkan
dalam QS Yusuf).
Selama 100 tahun di Mesir, Bani Israil hidup dalam suasana aman dan makmur,
tetapi berikutnya adalah masa-masa pahit karena penderitaan kerja paksa di
Piton. Kemudian, Nabi Musa (cucu Ya'qub keturunan dari Lawi) membawa kaumnya kembali ke Palestina. Usaha Nabi Musa as untuk membawa Bani Israil masuk Palestina tidak berhasil karena umatnya membangkang hingga nabi wafat.
Akhirnya diteruskan oleh sahabatnya Yusa bin Nun. Dia membawa mereka
memasuki Palestina melalui Sungai Yordan memasuki Kota Ariha dengan membunuh seluruh penduduknya. Dengan peristiwa itu, mulailah zaman pemerintahan Bani Israil atas tanah Palestina dan mereka berhasil membentuk suatu umat dari berbagai suku bangsa.
Kehidupan Bani Israil di Palestina itu dapat dibagi dalam tiga zaman.
Pertama, zaman pemerintahan hakim-hakim (lebih kurang empat abad). Pada
zaman tersebut, mereka mulai berubah dari cara hidup musafir kepada cara
hidup menetap.
Kedua, zaman pemerintahan raja-raja (sekitar 1028-933 SM). Pada masa itulah, tepatnya pada masa pemerintahan Nabi Daud as, Bani Israil memasuki masa jaya di Palestina.
Ketiga, zaman perpecahan dan hilangnya kekuasaan Bani Israil. Setelah
meninggalnya Nabi Sulaiman as kira-kira 935 SM, dia digantikan putranya,
Rahub'am, tetapi keluarga Israil yang lain mengangkat saudara Rahub'am,
yaitu Yarub'am. Dari sini mulailah Bani Israil memasuki masa perpecahan.
Sementara itu, Kerajaan Mesir di selatan kembali jaya, demikian pula Suriah
di utara. Keadaan tersebut menyebabkan wilayah Israil di Palestina bagai
wilayah kecil yang terjepit celah-celah dua rahang mulut musuh yang
menganga. Menjelang tahun 721 SM, kerajaan Israil lenyap dihancurkan oleh
tentara Asyur (kini Iraq).
Dengan demikian, Bani Israil hanya sempat hidup menetap selama periode
1473-586 SM. Setelah itu, mereka berpencar kembali ke berbagai negara,
seperti Mesir dan Iraq.
Kehancuran Israel lebih tragis lagi saat pasukan Romawi menaklukkan
Palestina dan menduduki Baitulmaqdis. Panglima Titus Flavius Vespasianus
sempat memusnahkan Jerusalem karena terjadi pemberontakan Yahudi di situ.
Akhirnya, Bani Israil berhasil menyelamatkan diri lari ke berbagai negara,
seperti Mesir, Afrika Utara, dan Eropa. Dengan ini, mulailah babak baru
pengembaraan Bani Israil ke seluruh penjuru dunia.
Yahudi Tak Bisa Hidup Berdamai
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dia telah menemukan orang-orang Israil sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka, sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan secara damai antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi.
Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga
Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah.
Diakui Bani Israel memang diberi kelebihan Tuhan berupa otak yang cerdas,
tetapi angkuh, sombong, dan rasis. Justru karena keangkuhan dan arogansinya
itulah, mereka (Bani Israel) dikenal sebagai umat ngeyel, pembangkang (QS Al
Baqarah). Meski kepadanya Tuhan mengutus beberapa nabi berturutan (Ya'qub, Yusuf, Musa, Harun, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, dll)
alih-alih mereka mentaati nabinya, bahkan ada yang membunuhnya. Kebiadaban yang sulit diceritakan dengan kata-kata.
Sejak awal pengembaraan ini sampai abad ke-19 (kira-kira 25 abad), orang
Yahudi tidak banyak diperbincangkan. Hanya tercatat bahwa mereka terbuang
dari satu daerah ke daerah lain atau terusir dari satu negara ke negara
lain, sebaliknya umat Islam mengulurkan tangan kepada mereka.
Pada akhir abad ke-19 dan seterusnya, keadaan berbalik. Perang Dunia I dan
Perang Dunia II mengubah nasib bangsa ini. Cita-cita zionisme ditunjang
dengan semangat yang tinggi oleh seluruh peserta perang, kecuali Nazi
Jerman. Dengan cara khusus, berangsur-angsur umat Yahudi bergelombang
memasuki daerah Palestina.
Komisi persetujuan Amerika-Inggris memberi rekomendasi terhadap satu
rombongan besar kaum ini untuk memasuki Palestina. Sampai pertengahan abad ke-20, dalam tempo 30 tahun, mereka yang memasuki Palestina mencapai angka 1.400.000 jiwa, hampir sama dengan jumlah penduduk asli Palestina.
Pada 1947, pemenang Perang Dunia II menghadiahkan satu negara Israel untuk orang Yahudi di Palestina. Negara ini sampai sekarang merupakan duri dalam daging bagi dunia Arab. Akibatnya, negara-negara Arab di satu pihak dan Israel di pihak lain merupakan dua kubu yang saling berhadapan. Peperangan antara dua kubu itu tidak putus-putusnya hingga kini, terhangat, ditandai dengan serbuan ke jalur Gaza yang membunuh ratusan korban tak berdosa.

Berkedok Historical Right
Gelombang imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina itu didorong oleh
semangat zionisme pimpinan Theodor Herzl (1860-1904), mereka adalah
orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika tidak ada
sama sekali. Mereka melihat "keyahudian" sebagai sebuah nama ras, bukan
masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama dan penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air sendiri. Mereka tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air manakah seharusnya itu.
Herzl, sang pendiri zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, lalu dikenal
sebagai "Uganda Plan". Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina karena
mereka merasa mempunyai hak sejarah (historical right) atas bumi Palestina.
Tegasnya, Palestina dianggap sebagai "tanah air bersejarah bagi orang-orang
Yahudi".
Sang zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya, bahwa mereka adalah "ras" yang tinggi dan terpisah. Karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina.
Logika zionisme yang nasionalis, rasis, dan kolonialis inilah yang
menginspirasi semua penjajahan dan semua peperangan. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan Timur Tengah, kecuali jika Israel meninggalkan paham zionismenya dan kembali ke agama Ibrahim. Warisan bersama tiga agama wahyu yang pro kasih sayang dan persaudaraan: Yudaisme, Nasrani dan Islam.
Dipilihnya Palestina sebagai negara zionis karena "historical right" adalah
alasan yang dicari-cari dan dipaksakan. Bukankah sejak abad ke-5 SM yahudi
di Palestina tinggal sedikit yang tersisa, karena menyebar, berlarian
mengembara ke seluruh penjuru dunia? Pantaskah bangsa yang sudah
meninggalkan tanah kelahirannya 25 abad, lalu memaksakan diri kembali ke
tanah asal dengan klaim mempunyai hak sejarah?
Lebih naif lagi jika semangat "mudik" itu harus diikuti dengan peperangan
dan membunuh penduduk asli Palestina yang sudah menempatinya ribuan tahun dan puluhan generasi.
Melihat arogansi zionisme yang rasis, kolonialis, serta tidak bermotif iman
dan damai, mestinya Israel bukanlah sekadar musuh Palestina, bukan pula
musuh negara-negara Arab, atau bukan pula musuh Islam, tetapi musuh bersama dunia semua agama yang cinta damai. Sebab, jika zionisme sekuler yang menjadi mind-set nya, tidak akan pernah bisa hidup secara damai dengan siapa pun, di mana pun, dengan agama apa pun.

Dari berbagai sumber

Rabu, 30 Desember 2009

SEJARAH FACEBOOK

ANDA para peselancar dunia maya yang sering berjelajah dari situs satu ke situs lainnya pasti takkan lupa untuk nongkrong atau paling tidak sekedar mampir ke salah satu situs yang lagi meroket saat ini. Situs apa itu? Ya, tentu saja situs facebook! Saat ini siapa yang tidak mengenalnya? Bisa dipastikan orang yang melek huruf dan pernah berinternet pasti mengetahui situs yang satu ini. Bahkan mereka yang dulunya hanya berinternet untuk sekedar membuka email kini pun mulai betah berlama-lama di depan komputer untuk mengulak-ngulik akun Facebook-nya.

Data berbicara saat ini ada sekitar 175 juta profil aktif di situs Facebook dan setiap profil rata-rata memiliki 120 teman. Durasi pengaksesan profil berjumlah sekitar 3 miliar menit/hari dan lebih dari 18 juta pengguna meng-update profilnya setiap hari [data lengkap]. Lebih lanjut, menurut penelitian yang dilakukan oleh Student Monitor, Facebook termasuk dalam jajaran benda/hal kedua yang diingini oleh para pelajar/mahasiswa di AS setelah Ipod.

Tapi tahukah anda bahwa Facebook dulunya hanya sebuah situs eksklusif yang dikhususkan untuk anak-anak kampus Harvard saja? Lalu tahukah anda ternyata si pencipta situs ini pernah digugat di pengadilan atas tuduhan penjiplakan hak intelektual dan source code dari perusahaan lain? Selain itu benarkah Facebook memiliki situs kembaran?
So, bagi yang tertarik lanjut mengetahui seluk beluk facebook lebih dalam berikut akan dipaparkan secuil kisah sejarahnya.
Facebook termasuk dalam kategori situs jejaring sosial seperti Friendster, MySpace, Multiply, Yuwie, dll yang menyediakan media bagi para penggunanya untuk saling bertukar informasi dan berinteraksi. Facebook diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2006 oleh seorang mahasiswa Harvard University, Mark Zuckerberg. Nama Facebook sendiri diinspirasi oleh Zuckerberg dari sebuah istilah di kalangan kampus seantero AS untuk saling mengenal antar sesama civitas akademiknya. Awalnya para penggunanya hanya dikhususkan bagi para mahasiswa di kampus Harvard University. Lalu kemudian diperluas ke sejumlah kampus di wilayah Boston (Boston College, Boston University, Northeastern University, Tufts University) dan kampus-kampus lainnya seperti Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, and Ivy League. Menyusul kemudian sejumlah kampus lain di AS. Akhirnya, penggunanya lebih diperluas lagi ke sejumlah kampus lain di seluruh dunia. Tanggal 11 September 2006, Facebook membuat satu langkah penting dengan mengizinkan aksesnya ke seluruh netter yang mempunyai alamat email valid, namun, dengan pembatasan usia.

Sejarah dan Perkembangan

Asal mula Facebook berawal ketika Mark Zuckerberg (saat itu mahasiswa semester II Harvard University) membuat sebuah situs kontak jodoh untuk rekan-rekan kampusnya. Zuckerberg yang terinspirasi dari situs Hot or Not menamai situs buatannya Facemash.com. Metode situs ini yaitu menampilkan dua foto pasangan (pria dan wanita), di mana selanjutnya dua pasangan ini akan dipilih oleh para anggota situs mana pasangan yang paling “hot”. Nah, untuk menampilkan foto-foto pasangan di situs ini, Zuckerberg berupaya dengan segala cara mencari foto-foto rekannya dengan cara keliling ‘door-to-door’ untuk meminta foto.1

Saking nekatnya, Zuckerberg membobol akses jaringan komputer kampusnya untuk mendapatkan foto-foto tambahan. Namun aksi ini diketahui pihak kampus dan mereka selanjutnya memblokir situs Facemash.com diikuti dengan tindakan sanksi kepada Zuckerberg dengan ancaman akan memecatnya dari kampus (walaupun ancaman ini tidak jadi direalisasikan). Atas tindakannya itu, Zuckerberg membela diri dengan mengatakan “Tindakan pihak kampus yang memblokir situs facemash.com memang benar alasannya, namun sayang mereka tidak menyadari potensinya yang bisa saja menjadi alat pendongkrak popularitas bagi kampus itu sendiri”. Ia melanjutkan “Cepat atau lambat, nanti juga akan ada orang lain yang membuat situs serupa”.

2004

Tidak kapok, pada semester berikutnya, tepatnya pada tanggal 4 Februari 2004, Zuckerberg membuat sebuah situs baru bernama “The Facebook” yang beralamat URL: http://www.thefacebook.com. Untuk situs barunya ini, Zuckerberg berkomentar sarkas: “Menurutku upaya pihak kampus yang ingin membuat media pertukaran informasi antar civitas akademik yang butuh waktu bertahun-tahun adalah hal yang konyol. Dengan situsku ini, aku bisa mengerjakannya cuma dalam waktu seminggu saja”.2

Saat pertama kali diluncurkan “The Facebook” hanya terbatas di kalangan kampus Harvard saja. Dan sungguh menakjubkan! Dalam waktu satu bulan para penggunanya sudah mencakup lebih dari setengah jumlah mahasiswa Harvard saat itu. Selanjutnya, sejumlah rekan Zuckerberg turut bergabung memperkuat tim thefacebook.com. Mereka adalah Eduardo Saverin (analis usaha), Dustin Moskovitz (programmer), Andrew McCollum (desainer grafis), dan Chris Hughes.

Bulan maret 2004, thefacebook.com mulai merambah ke beberapa kampus lain di kota Boston, AS dan juga ke sejumlah kampus ternama seperti Stanford, Columbia, Yale, dan Ivy League. Tak butuh waktu lama, situs ini telah tersebar penggunaannya di hampir semua kampus di AS dan Kanada. Bulan Juni 2004, Zuckerberg, McCollum dan Moskovitz memindahkan markas ke Palo Alto, California. Di sini mereka turut dibantu juga oleh Adam D'Angelo dan Sean Parker.

Pertengahan 2004, thefacebook.com mendapat investasi pertamanya dari salah seorang pendiri PayPal, Pieter Thiel.


2005

Bulan Mei 2005, thefacebook.com mendapat suntikan dana segar hasil join venture dengan Accel Partners. Tanggal 23 Agustus 2005, thefacebook secara resmi membeli nama domain mereka dari Aboutface.com seharga USD 200.000 dan sejak saat itu penggalan frase “the” tidak dipakai lagi sehingga nama mereka resmi menjadi facebook.com.

Pada tahun 2005 ini juga, facebook telah memperluas jangkauan pengguna ke kalangan pelajar SMA. Masih di tahun yang sama, sejumlah universitas di Meksiko, Inggris Raya, Australia dan Selandia Baru juga sudah bisa menikmati jaringan Facebook.

2006

Awal tahun 2006, Facebook diisukan akan diakuisisi oleh sebuah perusahaan dengan harga USD 750 juta, bahkan tawarannya melonjak hingga USD 2 miliar. Namun kabar ini tak terbukti. Pada bulan April 2006, Facebook mendapat suntikan dana segar USD 25 juta hasil investasi dari Peter Thiel, Greylock Partners, dan Meritech Capital Partners. Bulan Mei tahun yang sama Facebook mulai merambah benua Asia melalui India. Di pertengahan tahun, gilliran Israel dan Jerman. Akhirnya pada 11 September 2006, Facebook merubah status registrasinya menjadi “free to join” bagi semua pemilik alamat email valid di seluruh dunia.

2007

Bulan September 2007, Microsoft mengumumkan telah membeli 1,6% saham Facebook senilai USD 15 miliar. Dalam pengambilan saham ini juga tercakup kesepakatan bahwa Microsoft memiliki hak untuk memasang iklan mereka di Facebook. Melihat langkah ini sejumlah pemain raksasa lain seperti Google, Viacom, Friendster juga mengungkapkan minat mereka untuk berinvestasi di Facebook. Sebelumnya di tahun 2006, Yahoo! telah menawarkan tawaran akuisisi senilai USD 1 miliar. November 2007, seorang miliuner Hongkong Li Ka-shing menanam investasi senilai USD 60 juta di Facebook.

2008

Pada Agustus 2008, majalah Business Week melaporkan sejumlah pihak lain telah ikut menanamkan saham di Facebook sehingga diperkirakan nilai Facebook berkisar antara USD 3.75 miliar sampai USD 5 miliar

Situasi Situs

Pengguna Facebook kini dapat bebas bergabung ke banyak jaringan yang diatur berdasarkan kota, lokasi kerja, sekolah maupun negara. Jaringan-jaringan ini kemudian akan menghubungkan para anggotanya. Sesama pengguna dapat berhubungan dengan teman-temannya dan bisa saling melihat isi profil pribadi.

Situs Facebook mendapatkan pemasukan utama dari iklan-iklan yang terpasang padanya. Para pengguna bebas membuat profilnya masing-masing yang di dalamnya bisa berisi foto dan info-info pribadi lainnya. Selain itu dapat juga saling mengirim pesan, bergabung dengan sebuah grup atau lebih. Secara default, Facebook mengatur profil pengguna hanya bisa diakses oleh sesama pengguna yang telah berteman. Namun pengaturan ini bisa nanti dirubah jika diinginkan.

Microsoft adalah mitra eksklusif Facebook dalam menayangkan iklan-iklan banner. Inilah sebabnya mengapa Facebook hanya menayang iklan-iklan yang termuat dalam jaringannya Microsoft. Menurut comScore (situs periset internet marketing) saat ini Facebook mengumpul data pengguna sebanyak yang dikumpulkan oleh Google dan Microsoft.

Dalam hal tampilan, Facebook sering dibanding-bandingkan dengan MySpace dan Friendster. Namun perbedaaan utama antara mereka ialah MySpace dan Friendster mengizinkan pengguna mendekorasi tampilan profilnya dengan fitur HTML dan CSS, sedangkan Facebook hanya mengizinkan fitur teks saja sehingga semua tampilan profil pengguna terlihat seragam.

Fitur

Facebook memiliki sejumlah fitur interaksi antar sesama pengguna yang di antaranya adalah fitur ‘Wall/Dinding’, ruang tempat sesama pengguna mengirimkan pesan-pesan terbuka, ‘Poke/Colek’, sarana untuk saling mencolek secara virtual, ‘Photos/Foto’ ruang untuk memasang foto, dan ‘Status’ yang menampilkan kondisi/ide terkini pengguna. Mulai Juli 2007, Facebook mengizinkan pengguna untuk mengirim berbagai lampiran (tautan, aplikasi, dsb) langsung ke Wall/Dinding, di mana sebelumnya yang diizinkan hanya teks saja.

Seiring perjalanan waktu, Facebook menambahkan beberapa fitur baru ke dalam situsnya. Pada September 2006, Facebook mengumumkan peluncuran News Feed/Rangkaian Kabar Berita yang berisi kilasan informasi dari masing-masing pengguna. Mulanya fitur ini bersifat terbuka dan bisa dilihat oleh siapa saja. Namun setelah mendapat keluhan dari beberapa pengguna, pihak Facebook merubah pengaturan fitur ini sehingga kini pengguna dapat mengatur mana yang bisa ditampilkan di News Feed/Rangkaian Kabar Berita dan mana yang tidak.

Fitur Catatan/Notes ditambahkan pada 22 Agustus 2006. Dalam fitur ini pengguna bisa mengimpor tulisannya di blog lain (Xanga, LiveJournal, Blogger, dll) untuk ditampilkan di Facebook. Tanggal 7 April 2008, Facebook meluncurkan salah satu fitur favorit yaitu ‘Chat/Obrolan’, tempat di mana para pengguna bisa saling berkirim pesan pribadi secara langsung dan real time.

Fitur ‘Gifts/Hadiah’ dimulai pada 8 Februari 2007. Fitur ini adalah fitur untuk saling berkirim hadiah. ‘Hadiah’ bisa dibeli dengan harga USD 1 dan ditambahkan pesan pribadi. Tanggal 14 Mei 2007, Facebook memperkenalkan ‘Marketplace’ yang mengizinkan pengguna untuk beriklan secara gratis. Fitur beriklan gratis ini dibuat untuk menyaingi fitur serupa yang diperkenalkan oleh Craiglist.

Juli 2008, Facebook merapikan tampilan situs sehingga setiap kategori (dinding, info, foto, dll) memiliki tab-tab terpisah. Mulai Maret 2009, Facebook merapikan tampilan “Home/Beranda”.

Platform

Pada 24 Mei 2007, Facebook mempromosikan Facebook Platform. Ini adalah sarana bagi para pengembang software untuk menciptakan aplikasi yang bisa digunakan di Facebook. Langkah ini segera disambut oleh para pengembang software sehingga sampai 25 Maret 2009 tercatat ada 52.000 aplikasi dengan jumlah pengembang sebanyak 660.000 pihak.

Perkembangan Negatif
• Pada Desember 2008, Mahkamah Agung Australia memutuskan menggunakan data-data pengguna Facebook sebagai salah satu dasar dalam penentuan putusan perkara.
• Universitas New Mexico pada Oktober 2005 memblokir akses Facebook dalam jaringannya dengan dalih situs Facebook bukan merupakan situs penunjang kampus. Pemerintah Provinsi Ontario, Kanada juga memblokir akses Facebook dengan alasan yang hampir serupa.
• Beberapa negara sampai saat ini masih melarang akses Facebook ke warga negaranya. Pemerintah Syria melarang akses Facebook dengan alasan situs ini akan dimanfaatkan oleh Israel untuk meluaskan pengaruhnya. Pemerintah Iran juga memblokir Facebook karena khawatir media ini akan digunakan pihak oposisi untuk menggalang jaringannya.
• Pada 5 Februari 2008, seorang warga negara Maroko, Fouad Mourtada, ditahan oleh kepolisian setempat karena membuat profil palsu atas nama Pangeran Moulay Rachid yang merupakan salah satu anggota keluarga Kerajaan Maroko.
• Sejumlah pengguna yang ingin keluar dari jaringan Facebook mengeluh kesulitan dalam menghapus profilnya. Hal ini terjadi karena sebelumnya Facebook hanya mengizinkan pengguna untuk sekedar deaktivasi saja sedangkan data-data pribadi tetap tersimpan dalam server Facebook. Kebijakan ini banyak dikritik oleh para pengguna yang ingin benar-benar menghapus seluruh datanya. Menanggapinya, pihak Facebook kemudian merubah kebijakan pada 29 Februari 2008 sehingga sejak saat itu pengguna yang ingin keluar dapat meminta data-data pribadinya untuk dihapus sama sekali dari jaringan Facebook.
• Pada 2004, ConnectU, sebuah situs yang mirip dengan Facebook, membuat tuntutan hukum kepada Zuckerberg atas tuduhan penjiplakan ide kreatif dan source code. Para pendiri ConnectU (Divya Narendra, Cameron Winklevoss dan Tyler Winklevoss) yang merupakan rekan sekelas Zuckerberg di Harvard beranggapan bahwa konsep dasar Facebook adalah ide mereka dan Zuckerberg hanyalah orang yang disewa untuk mendesainnya.
• Seorang warga negara Kanada, Adam Guerbuez, pernah memanfaatkan situs Facebook untuk mengiklankan produk pembesaran penis dan penggunaan mariyuana. Pihak Facebook kemudian menggugat Guerbuez di pengadilan setempat dan memenangi gugatan itu.
• Pada 24 Juli 2008, Grant Raphael, seorang warga Inggris diseret ke meja hijau atas tuduhan membuat profil palsu yang isinya menghujat mantan rekan bisnisnya, Mattew Firsht, sebagai seorang homoseksual.
• Pesepakbola tenar Italia, Alessandro Del Piero menggugat Facebook pada 9 Februari 2009 karena memuat profil palsu dirinya yang berisi tautan-tautan ke berbagai situs propaganda Nazi. Del Piero kemudian menyatakan bahwa ia bukan pendukung Nazi dan sama sekali tidak pernah memiliki akun apapun di Facebook.


Kondisi Terkini
Terlepas dari berbagai kontroversi di atas tak bisa dipungkiri bahwa demam Facebook sedang mewabah di seluruh dunia. Jadi kini tergantung anda sendiri memanfaatkan Facebook untuk tujuan apa dengan mempertimbangkan resiko-resiko yang menyertainya.

Apapun itu, saat ini menurut comScore Facebook adalah situs jejaring sosial terkemuka di dunia mengalahkan MySpace dan menurut Alexa untuk peringkat global berada di peringkat kelima, hanya kalah dari Google, Yahoo, Youtube dan Live. Sedangkan penghargaan yang pernah diterima adalah "Top 100 Classic Websites" tahun 2007 dari PC Magazine dan "People's Voice Award" tahun 2008 dari Webby Awards.

Konsep Facebook kini juga banyak dijiplak di beberapa negara yang di antaranya adalah:
StudiVZ — yang memiliki versi-versi bahasa:
Jerman
Perancis
Italia
Spanyol
Polandia
Hungaria

Selain StudiVZ, ada juga:

• Australia
• China
• Russia
• America Selatan
• Turki
• Esperanto

Sekilas Data
Perusahaan: Perseroan
Didirikan: Cambridge, Massachusetts (4 Februari 2004)
Kantor Pusat: Palo Alto, California & Dublin, Irlandia (Kantor Pusat Internasional untuk Eropa, Afrika, dan Timur Tengah)
Tokoh Kunci: Mark Zuckerberg (Pendiri dan CEO), Dustin Moskovitz (Co-founder),Sheryl Sandberg (COO), Matt Cohler (VP of Product Management), Chris Hughes (Co-founder)
Pendapatan: USD 300 juta (2008)

Karyawan: 700 (November 2008)
Situs web: www.facebook.com

Versi Bahasa: Afrika, Arab, Bengali, Bulgaria, Catalan, China, China (Hong Kong), China (Taiwan), Kroasia, Ceko, Denmark, Belanda, Inggris (American), Inggris (British), Filipino, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Ibrani, Hungaria, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Lithuania, Melayu, Norwegia (bokmål), Polandia, Portugal (Brazil), Portugal, Rumania, Russia, Serbia, Slovenia, Spanyol (Castilian), Swedia, Thai, Turki, Vietnam, Wales.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com